For Me

For Me
Aku dikit narziz

Sabtu, 13 Februari 2010

DUA BIBIR WANITA MEMBAWA PETAKA (Cerpen)

erkatih-katih, kelelahan setelah seharian menguras otak demi nilai raport pembawa cerahnya masa depan untuk sebuah kehidupan. Kusegarkan pikiran untuk menyambut hari pertama ujian semesteran dibulan ke Juni ini. Kularutkan pedihnya mata dalam angan-angan hingga esok hari.

Kring…ku…kuruyuk, dering jam wacker dan suara ayam jantan tetangga membangunkan tidur lelapku. Sesaat kuberjalan untuk menghentikan bunyi nyaring teman pagiku dan kumulai membersihkan tubuh dari sisa-sisa debu tempat tidur.

Jam 07.00 tepat aku mulai berangkat menuju sekolah sembari membaca buku agar dapat mengerjakan soal ujian semesteran. Setelah kaki menginjak halaman sekolah bell masukpun berbunyi, kumulai berlari menuju ruang 4 dari tepi pintu sekolahku berdiri.

Setelah kedua materi pelajaran aku kerjakan, temanku datang sambil menyodorkan beberapa lembar folio.

”Hai Ochi, apa kamu tahu kalau soal fisika yang dibagikan kemarin sekarang harus dikerjakan sampai selesai dilembaran kertas folio dan dikumpulkan hari ini?”

”Aku sudah tahu donk Jay, lha kamu sudah ngerjakan belum? Kalau belum pinjam punyaku saja tapi masih kurang beberapa nomor lagi.”

”Wah beneran boleh pinjam? Hebat donk kamu, dari 35 nomor cuma kurang 11 nomor.”

”Biasa saja, kan sudah dikerjakan dari kemarin” (ujarku dengan menyodorkan jawaban dan kertas folio yang Jayadi berikan).

Sembari menunggu Jay mengerjakan tugas fisika. Aku mulai mencoba dan bertanya tetang soal yang belum bisa aku jawab.

Kami semua sudah mengerjakan soal fisika dengan rapi walaupun masih kurang 6 nomor yang belum bisa kami jawab tapi teman-teman menyerah dan mulai mengumpulkan tugas fisika itu. Tapi semua teman menyuruhku mengumpulkan tugas fisika mereka.

Dibawah rindangnya pohon mangga ditepi lapangan basket aku dan keempat temanku yaitu Kana, Atik, Atun dan Nila mulai mengrjakan soal yang belum terjawab. Nampak dari kejauhan guru-guru hendak pulang memandangi kami, walaupun aku sadar bahwa aku satu-satunya lelaki yang mengerjakan tugas fisika yang belum terbenahi.

Jam 12.45 kami selesai mengerjakan soal itu dan 2 soal belum terjawab, kami pulang sambil dari kejauhan menyapa bapak kepala sekolah yang meninjau pembangunan UKS baru.

Keesokan harinya setelah mengerjakan ujian semesteran kimia aku pulang bersama ayahku yang juga menjadi salah seorang guru disekolahku.

”Yah, nanti beli kertas buat mencetak novel Ochi ya?” (ucapku dengan penuh pengharapan)

Ayahku tak menjawab sama sekali, senyum pasi pun tak terlukis dari raut wajahnya.

Aku tahu bahwa saat ini ayah marah dan apa yang membuat ayah marah, berkali-kali kata tanya dibenakku.

Raut mimik tak sempurna digambarkan ayahku setelah sampai dirumah. Aku bertanya pada ayahku

”Ayah kenapa?”

”Tidak apa-apa” (mendesah baai keluhan yang memberatkan)

Aku beranjak pergi dari teras tempat ayahku terdiam, beribadahlah aku untuk menenangkan pikiran. Sesaat kemudian ku hampiri ayahku untuk kedua kalinya

”Yah, kenapa?!”

”Apa-apa’an kamu”

”Aku kan cu…”

”Kamu kemarin pacaran dipojok kelaskan? Kamu bilang ke Ayah kalau kamu keinternet dan mengerjakan tugas, tapi apa?” (sahut ayahku memotong perkataanku).

”Bukan yah, aku kemarin menerjakan tugas fisika sama teman-teman.”

”Tau tidak kamu kalau teman-teman ayah waktu mau pulang lihat kamu pacaran dipojok kelas! Bapak kepala tahu akan itu kata ibu-ibu guru!”

”Bukan, aku ti…”

”Kamu khianati kepercayaan ayah, kamu bilang ngrjakan tugas fisika?! Fisika apanya xxx ” (kata-kata kotor yang belum pernah aku dengar sekalipun kudengar diucapkan ayahku dengan sempurna).

Aku beranjak menuju kamar, menangis, merintih dan berfikir akan kata-kata ayahku. Butiran-butiran air sayu menetes dipipi, menghiasi kepedihan hati yang tersakiti. Kenapa ayahku tidak mau mendengar penjelasanku! Kenapa ayah lebih percaya oran diluar sana dari pada anaknya sendiri? Apa yang harus aku lakukan untuk menyadarkan ayahku? Kenapa ibu-ibu guru tega berkata kalau aku pacaran dipojok kelas?! (ribuan kata tanya hatiku). Mereka tidak tahu kalau saat itu aku sedang mengerjakan tugas fisika yang harus dikumpulkan saat itu juga.

Aku tahu bila ayahku marah akan bisa meredam apabila ada saudara yang menasehati atau ada yang mengesankan baginya. Mereka tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Mereka hanya mementingkan dua mulutnya mengobrol gosip tanpa memikirkan apa yang akan terjadi nanatinya.

Kutorehkan kata hatiku diatas selembar kertas berharap dapat meringankan kesedihan yang menusuk hati. Semoga semua ini cepat berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar