For Me

For Me
Aku dikit narziz

Sabtu, 13 Februari 2010

JANJI PAK TUA PENGANTAR KORAN

Tanda Mata

Percikan efek tyndall sang 12 jam membinasankan kabut-kabut lekat dipagi hari, menampilkan pesona alam didesa pertiwi, membangkitkan semangat untuk terus menggali rahasia alam yang tiada henti tersembunyi. Ku awali pagi ini dengan merajutkan tulisan pena tuaku yang hampir lapuk termakan usia. Setelah lama aku tak bisa menyentuhnya akibat tangan terluka. Beberapa kata kutorehkan diatas kertas sayu agar dapat membanggakan kedua orang tuaku dengan memberikan sedikit informasi lewat media cetak yang kini mulai bangkit kembali dengan karya-karya anak bangsa lewat rubric gaul untuk para pemuda globalisasi.

Kring…kring…s…s…solopos datang!! Dering bel sepeda jengki dan jeritan dari pengantar setia sumber informasi didesaku datang. Selamat pagi mas Ochi…Koran harian datang menyampaikan titahnya untuk tuan Ochi (basa basi dari seorang pengantar Koran yang setia menghibur dengan kata-kata mutiaranya dipagi hari). Oh…terimakasih pak Yadi, enggankah bapak mampir sejenak untuk menemaniku menghabiskan secangkir kopi dan membuat suatu karya untuk diterbitkan di Solopos pak? (bujuk rayuku sambil memegang tangan dingin pak Yadi). Tentu saja mas, akan tetapi saya hanya bisa menemani sebentar sebab masih banyak orang yang menanti datangnya sepeda jengki pembawa informasi ini. Setelah 7 menit berlalu, pak Yadi mulai beranjak dari tempat duduknya. Akupun mulai mempersilahkan pak Yadi untuk melanjutkan perjalanannya walaupun pak Yadi belum mengucapkan kata pamitan. Bapak pamit dulu ya mas, maaf tidak bisa menemani mas lama-lama (pamit dan senyum lebar pak Yadi sambil memberikan secarik kertas ditangan kananku).

Jantungku mulai berdebar cepat memikirkan apa isi secarik kertas dari seorang tua pengantar informasi. Srek…srek…dua lipatan persegi panjang dari secarik kertas pak Yadi kubuka, dan tertulis “Mas, jangan cepat lelah dalam membuat suatu karya dan jangan menyerah bila suatu karya tidak dimuat dimedia masa. Suatu saat pasti karya dari seorang yang ulet dan rajin mengarang akan dihargai oleh media masa. Bapak berjanji bila karya mas dimuat dimedia masa, bapak akan berikan sepasang gelang yang berharga hadiah bagi para penulis sejati dari sang media masa dikota kita yaitu Solopos.” Setelah kubaca beberapa kali, aku mulai berkarya tiada henti dan mencoba mengadu karya di salah satu media masa dikotaku.

3,4,5 dan 6 kali ku mengirimkan karya dari ide dan inspirasiku tapi tak ada yang dimuat. Setelah 1 bulan kemarin aku mengadukan karya-karyaku dan tidak ada yang diterima, aku sedikit agak menyerah. 1 bulan juga pak tua pengantar media masa tidak datang, apaka pak Yadi tidak mau datang akibat karyaku tidak dimuat dimedia masa (mesinku mulai berputar 2X memikirkan hal itu).

Apa kesalahanku sehingga media masa tidak mau memuat karya-karyaku? Renung dan kata tanyala yang menghiasi hati gundahku.

Secarik kertas dari pak tua masih menghiasi dinding kamarku, kubaca berulang-ulang hingga aku mengerti apa yang dimaksudkan pak tua dalam secarik kertas ini. Aha…aku mengerti apa yang dimaksudkan pak tua (senyum lebar dan rasa gembira menghibur diriku). Bermacam-macam karya ku buat, 5 sampai 10 karya mulai aku selipkan didalam sebua amplop dan mulai aku kirimkan ke redaksi Solopos yang berkali-kali menolak karyaku.

Sepekan berlalu dan saatnya ajang Solopos setiap minggunya beraksi. Kumulai datangi penjual Koran dan majalah karena pak tua tak datang lagi sejak karyaku tereliminasi. 6 pasang lipatan dari Koran Solopos, kumulai buka satu persatu. Setelah lipatan ke 7, aku dapati sebuah karyaku termuat di rubric gaul walaupun karyaku yang lain tidak termuat. Rasa bangga dan senanglah yang aku dapati, aku mulai mencari dan bertanya rumah pak tua pengantar Koran yang 1 bulan lalu menghilang. Sesaat kuberjalan, kujumpai sepeda jengki warna biru dari pak Yadi sang pengantar Koran itu. Berdiriku 1 jengkal dari sepeda itu dan keluar gadis dari rumah bambu cat ungu. “maaf, ini siapa ya? Mau ngambil sepedaku ya!” (ujar gadis itu sambil menunjukkan jari didepan mukaku). Bukan…bukan aku hanya ingin menjumpai pemilik sepeda jengki ini, bolehkah aku berjumpa dengannya? Genangan air mulai menghiasi mata beningnya. Maaf mas, pak Yadi telah pergi (bisikan gadis itu mengharukan hatiku). Maksud mbak pak Yadi pergi kemana? Apakah telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik? Si..siapa yang datang anakku Erna? (ujar nenek tua keluar dari rumah itu). Maaf nek telah mengganggu, saya hanya ingin berjumpa pada pak Yadi saja (bicaraku sambil tersendat-sendat). Tentu saja…antarkan dia Erna (tarik tangan sang nenek pada gadisnya).

Kami mulai berjalan bersama sambil membincangkan apa yang terjadi pada pak Yadi. Ku pandangi pemakaman umumlah yang aku jumpai. Aku berhenti dan bertanya pada Erna, apakah pak Yadi tela meninggal? Katakan…katakana yang sebenarnya padaku! (marahku pada Erna). Mari saya antarkan, pasti nanti mas tau sendiri.

Gemetar dan pucat pasi menghangatkan tubuhku. Aku mulai bertanya-tanya apakah pak tua itu telah meninggal.

Sesampainya dipemakaman tepatnya disebuah batu nisan yang terdapat sebuah cangkul, ku dengar suara pak tua itu disampingku. “mas, bagaiman kabarnya? Pasti baik-baik sajakan? O..iya bapak pernah berjanji pada mas kalau akan memberi sepasang gelang apabila karya mas bisa dimuat dimedia masa” (Tanya pak Yadi sambil batuk-batuk yang sangat hebat). Kabar sangat baik pak karena saya menjumpai seseorang yang sangat saya dambakan. Tentu saja, bapak kan pernah berjanji pada saya. Sepasang gelang hitam berstempel Penulis Solopos diberikanya padaku, aku terima dan bertanya “kenapa bapak tidak mengantarkan Koran lagi? Apa bapak marah pada saya?” Tak ada kata jawab maupun bahasa tubuh dari pak tua, hanya kata berkaryalah untuk seseorang bukan berkarya untuk bekerja atau coba-coba.

Aku beranjak pergi dari pemakaman tanpa berpamitan dan mengucap terimakasih pada pak tua itu karena kekecewaan yang kudapat karena pak tua beganti profesi. Tapi akan selalu ku cerna kata terakhir dari pak Yadi sang pengantar informasi. Terima Kasih pak tua-ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar